-->

POLOSKAOS1

Kaos Polos, Sablon Satuan, dan Informasi Fashion, Kaos, Baju, Kemeja, Jaket, dan Tips Seputar Fashion dan Review tentang Lifestyle.

Saturday, April 11, 2015

Pengorbanan untuk Memulai Brand Fashion Sendiri - Part 1a: Pengambilan Keputusan

Lagi jadi karyawan dan dijamin pekerjaannya, pendapatannya stabil, jalur karir nya jelas, dan tabungan. Ini adalah hal mainstream dari beberapa pengorbanan untuk kemudian berbisnis sendiri. Yaa, biasanya sih berbisnis dengan membentuk brand sendiri, entah fashion atau bukan. Resikonya banyak, tapi akan ada kepuasan tersendiri yang gak melulu berbau duit. You are your own man!

Blah blah blah. (insert some other motivational paragraph about making-your-own-brand shit here).

Kali ini, ada sesi share tentang gimana sih berkorban untuk proses pembuatan brand sendiri, terlebih dalam pengambilan keputusannya. Sesi share nya juga gak dari sembarangan orang lho. Cek aja!

  • Guillaume Philibert dari Filling Pieces
  • Brandon Svarc dari Naked & Famous
  • Benny Gold dan Tim Joo dari Haerfest
  • saya
  • dll
Intinya adalah, hampir semua orang mulai dari nol tanpa bantuan investasi dari pihak eksternal, dan butuh cost yang tidak sedikit dalam proses pembuatan brand. Baik finansial, resiko, waktu.

Yuk ah.



Ketika memulai brand mu, gimana caranya kamu bisa mengambil keputusan kalau nantinya kamu bisa hidup dari sana, sudah dipikirkan sebelumnya, atau gimana?

G. Philibert:
Saya mulai Filling Pieces sekitar akhir 2009 awal 2010 lah. Sambil belajar arsitektur, saya gak punya banyak uang untuk dihamburkan, dan nabung sedikit-sedikit dari pekerjaan kecil yang saya punya. 2 tahun pertama bener-bener susah buat saya, terutama susahnya cari retailer untuk brand saya dan saya kudu ngurus keuangan semuanya yang saya lakuin sendiri. Jadi, tanpa online shop yang sedikit banyak bisa bantu kerjaan saya secara otomatis, saya kerjanya waktu weekend ato pas kelar belajar. Akhirnya, setelah 2 tahun, brand saya menjadi lebih populer dan penjualan lagi ada di jalur yang tepat.
Saya lulus dengan gelar sarjana arsitektur dan memutuskan untuk mendesain dan menjual sepatu untuk biaya hidup. Nah, sekarang kami punya 30 retailer dan baru aja buka online shop, jadinya sekarang untuk masalah uang untuk bayar sewa dan tetek bengek lainnya udah bisa deh :)

Tim & Dan Joo:
Ketika mulai bikin Haerfest, kami mengorbankan semuanya - kerjaan, bayaran stabil, dan sampe celengan kami berdua. Itu bener-bener super risky, tapi kami percaya kalo reward bakal tercapai yaa selama kami melakukan yang terbaik. Kami ngerjain business plan bareng dan launching produk kami di pasar yang berkembang. Yaa, dalam perjalanan pasti ada dukanya lah ya. Tapi kami tetep bertahan dan ulet, dan itu yang bikin sangat berharga. Menurut kami juga, itu yang bikin kami akhirnya sukses sih. Akhirnya, kekuatan cinta juga bakal membantumu melewati masa-masa sulit. Itulah bahagia, dan kami gak bakal jual itu dengan apapun.

Ouigi Theodore:
Kami mulai The Brooklyn Circus karena sadar ada kekosongan dalam market tertentu dan ngerasa kami bisa ngisi kekosongan itu. Fokus utama dalam pengambilan keputusan sih awalnya bukan uang. Kami lebih interest di pemecahan masalah nya. Kami juga pengen melakukan sesuatu yang kami menikmatinya, serta punya kebebasan untuk melakukannya kapanpun tiap hari. Kami pengen bahagia karena turut berkontribusi dalam konservasi.

Terrence Kim:
Awalnya saya tahu bahwa saya gak bakalan bisa cari duit lewat bikin brand sendiri, tapi visi dari IISE berhasil memotivasi dan selalu ada fashion company yang lebih gede di luar sana. Hidup dari brand sendiri, tanpa ragu, adalah hal paling penting yang diperjuangkan para business owners.

Brandon Svarc:
Pertama-tama, saya punya keunggulan dalam memulai bikin brand sendiri karena keluarga saya sudah bermain di pasar workwear dan industri jeans selama 70 tahun. Kalian para entrepreneur muda, kalau udah punya keunggulan, ya pake aja! Kerjaan pertama saya dulu adalah bagian marketing di mass market clothing company. Disana saya jatuh cinta dengan dunia public relations (PR) dan menyadari fakta bahwa press coverage itu gratis dan lebih efektif daripada ngiklan. Jadi, saya keluar dan buka public relations service company yang muternya ya melayani perusahaan apparel, fashion, dan aksesoris. Dari sana, saya sadar saya bisa menggunakan perusahaan PR tadi sebagai trampolin untuk meluncurkan brand sendiri yang masih gak jauh-jauh dengan bisnis keluarga saya.

Rav Matharu:
Waktu itu saya kerjain Clothsurgeon ketika saya juga head designer untuk brand lain. Tibalah saat ketika saya butuh full creative control dan memutuskan untuk memulai Clothsurgeon dengan lebih proper dan matang. Beberapa biji yang saya jual melalui word of mouth atau getok tular mulai laku keras, dan dari situ saya dapat dana untuk bikin koleksi selanjutnya dan website... sampai lanjut tumbuh berkembang secara organik, dengan sentuhan kerja keras dan long hours.



Benny Gold:
Merk The Benny Gold awalnya adalah proyek iseng untuk sarana kreatif pribadi. Nafkah saya dari desainer freelance. Sampai pada titik ketika saya kerja untuk HUF  dan brand tersebut mulai menarik orang. Butuh bertahun-tahun untuk mematangkan konsep sebelum saya bener-bener lepas dari kerjaan klien dan fokus ke brand saya full time. Alhamdulillah banget (?) karena keputusan itu saya bisa menghidupi keluarga dan puluhan karyawan.

Laurence Chandler:
Kami bikin (dan nyebarin) kartu nama sebelum kami punya bisnis. Brand kami dibikin sebagai sarana kami untuk merepresentasikan teman-teman dan orang-orang di sekitar kami. Inspirasi kami adalah King Stampede, J Money, SSUR, dan DIY clothing scene yang ada di Downtown NYC. Kami juga nyusup ke shows kayak NYFW untuk mantengin brand-brand high class kayak Rick Owens dan Damir Doma. Kami pengen menjembatani gap antara brand-brand.
Awal kami sederhana, pergi ke Red Hook buat nyablon kaos, kemudian mendesain hoodie. Setelah itu belajar tentang cut and sew, plus cara bikin garmen sendiri. True trial and error. Kemudian pengembangan Rochambeau ke bisnis yang lebih gede skala nya ya berkat dari ketekunan kami. Banyak orang di NYC pake topi, dan akhirnya orang sukses pun orang yang paham sekitarnya.

Ketika mulai ada rintangan, kami bertahan pada komitmen dan sampai saat ini berusaha mencoba untuk deliver langsung walaupun sulit. Mentalitas baja penting banget, karena bisa bikin fokus pada apa yang harus kita selesaikan, dan itu membuat bisnis berkembang. Udah banyak hal berubah sejak kami memulai bikin brand, dan sekarang Brand baru bisa tiba-tiba datang bermunculan dan terlihat kredibel, tapi ya dulu kami membiayai brand kami tanpa dukungan pihak luar. Melihat brand kita perlahan naik dan turun bisa menguatkan keyakinan kita pada keputusan apa yang kita ambil dan kita percayai, dan tidak selalu itu hal yang populer.

Sexy credit to Arby Li :* thank you!
Suka gaya translate-rewrite saya? Be my fans! :p
Back To Top